20151214

Goresan Kenangan, Saat Terakhir Bersama Mama Tercinta....




Sabtu, 27 Juni 2015



Pagi itu saya masih tidur nyenyak,  maklum hari Sabtu libur.  Grace juga sedang  berlibur di Atambua jadi kami lebih santai, tidak ada yg perlu disiapkan pagi-pagi.   Sampai akhirnya hp berdering  jam 06.17 WITA,  telepon dari Mama..  

 

“Nona…,  masih tidur?   Emi sudah masuk rumah sakit jam 4 subuh, nanti  jam 8  pagi  operasi melahirkan.  Nona bangun dulu  dan doa untuk Emi,  kita berdoa sama-sama.   Mama takut  karena akhir-akhir ini  di  Atambua  banyak kejadian orang meninggal  setelah operasi caesar…. “  



Saya bisa menangkap nada khawatir dari suara Mama, tapi saya berusaha membuat suasana santai dan bercanda.   Kami masih mengobrol sebentar,  antara lain mengenai proses melahirkan yang lebih cepat dimana sesuai perhitungan seharusnya awal bulan Juli,  tentang kegembiraan Grace yang  senang sekali  mendapat adik sepupu baru pas dia lagi libur di Atambua, dan juga tentang kesibukan persiapan di rumah. 


Setelah menutup telepon saya bangun dan berdoa untuk kelancaran operasi melahirkan adikku.  Setelah itu kami melanjutkan aktivitas seperti biasa,  mandi dan siap-siap keluar mencari sarapan bubur ayam, kebetulan hari itu suami saya kepingin makan bubur ayam dan mengajak kesana.
  
Baru saja mau keluar, sekitar jam 08.15 ada telepon dari Grace : 
“Ma…. Oma pingsan, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit…”  kata Grace dengan nada suara panik.   
Terkejut dan serasa disambar petir dengar berita itu…. Kenapa Oma bisa pingsan???  Tadi Oma baru saja telepon mama, ada apa? Oma sakit apa??? Beragam pertanyaan muncul, tapi Grace tidak mengerti.
Grace cuma bilang : “ tadi pas kaka Meli mau antar makan utk Oma,   Oma duduk di kursi tapi tidak sadar … dipanggil juga Oma tidak jawab… akhirnya Bapa Tinus yang bantu pindahkan Oma ke tempat tidur, trus Bapa Tinus, Om Maxi dan Bapanya Koko Io yang angkat Oma dan bawa ke rumah sakit.”

Dengan panik dan cemas saya kembali ke ruang doa, membakar lilin dan berdoa dengan perasaan yang cemas.  Tuhan… tolong Mama… Saya mohon Ya Tuhan… tolong sembuhkan Mama, jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Mama.  Bunda Maria…tolong jaga Mama saya…  

Setelah berdoa dan berdevosi kepada Bunda Maria, hati terasa lebih tenang.   Saya menelpon Kakak untuk menanyakan perkembangan Mama.    “Mama belum sadar, sekarang masih di UGD.  Tensi Mama tinggi sekali sampai 209, menurut dokter Mama  terkena stroke. ”  demikian penjelasan dari Kakak yang membuat saya kembali shock.   
Rupanya Mama sangat kepikiran dengan Emi  yang akan menjalani operasi  sehingga tensi darah naik begitu tinggi hingga mengalami stroke dan pendarahan otak.     
Saat itu juga saya langsung  memutuskan untuk pulang ke Atambua.

Saya pun langsung memesan tiket dan syukurlah masih ada tiket pesawat Transnusa untuk hari itu, setelah ijin ke Pemimpin Cabang, sekitar jam 2 siang saya terbang ke Kupang, lanjut perjalanan darat dengan Timor Travel ke Atambua (sudah siang tidak ada lagi penerbangan ke Atambua).    Sepanjang jalan saya terus panjatkan doa untuk Mama, air mata  tumpah tak henti-hentinya,   takut sekali kalau terjadi hal yang buruk pada Mama.  Selama ini saya merasa Mama seperti malaikat bagi kami, Mama terlalu baik dan selalu mendokan siapa saja, terlebih semua anak dan cucunya.  Setiap kali kalau saya lupa berdoa dan semua aktivitas hari itu berjalan baik-baik saja saya tahu, itu karena doa Mama yang selalu menyertai kami.   Saya tidak ingin kehilangan Mama, hanya Mama satu-satunya orang tua kami yang masih ada.   Saya masih membutuhkan Mama dan masih ingin terus membahagiakan Mama.    

Sepanjang perjalanan ke Atambua  banyak telepon dari saudara dan keluarga di Jkt, Sby, Bali, Sumba, Kupang, Atambua dan Ende,  ada yang menanyakan keadaan Mama, ada juga yang menghibur dan memberikan kekuatan untuk saya,  setiap kali menerima telepon dari mereka tangisan saya semakin tak tertahankan…  Saya juga  terus menelpon mengecek keadaan Mama, berharap Mama sudah sadar, tapi jawabannya masih sama… Mama belum sadar. 

****

Pada hari yang sama sekitar jam 11.00 Mama sudah dibawa ke ruang ICU.  Pada hari dan jam yang sama juga adikku Emi dibawa ke ruang operasi, dan melahirkan bayi laki-laki yang ditunggu-tunggu oleh kami sekeluarga.   Anaknya Emi yang sebelumnya sudah ada 2 orang perempuan, Ceryl dan Dhea.  Kehadiran bayi laki-laki ini membuat lengkap dan sangat menggembirakan semua keluarga besar,  sayang Oma  tidak ikut merasakan kegembiraan ini karena masih belum sadar.   Suasana hati kami bercampur aduk….seharusnya hari ini Oma bisa menggendong cucunya yang ditunggu-tunggu...

Kami sekeluarga sepakat untuk tidak memberitahukan keadaan Mama kepada  Emi karena khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kondisinya belum stabil baru selesai operasi melahirkan.  Setiap ada kerabat atau teman yang berkunjung selalu kami ingatkan untuk tidak menceritakan keadaan Mama kepada  Emi.  Ruang ICU dan ruangan perawatan Emi cukup dekat, jadi keluarga yang mengunjungi Mama langsung menuju ke tempat Emi juga, demikian juga sebaliknya.

****

Perjalanan panjang dari Kupang ke Atambua terasa sangat lama… 
Sampai akhirnya jam 23.00 tiba di Atambua.  Saya tidak sabar, ingin langsung turun di RSU tapi Kakak bilang turun di rumah saja dulu, nanti baru dijemput ke rumah sakit. Sampai di rumah saya langsung ke kamar Mama…tangis saya semakin pecah melihat foto Mama dan  Bapa di kamar,  saya benar-benar takut  dan tidak ingin terjadi sesuatu pada Mama.   Setelah cuci muka sebentar, saya ambil jaket woll sering Mama pakai, ada di gantungan pakaian, cuaca di Atambua sangat dingin.  Saya pakai jaket itu dan keluar,  Kakak sudah datang menjemput.    Hati saya berdebar-debar… senang sudah tiba jadi bisa menjaga dan merawat Mama, tapi di sisi lain saya takut… saya takut kalau saya tidak sanggup melihat keadaan Mama.  Saya terus berusaha agar hati bisa kuat dan tegar.

Setelah memarkir mobil kami berjalan menyusuri lorong rumah sakit, menuju ke ruang ICU tempat mama dirawat.  Begitu masuk ruangan, hati saya merasa hancur melihat kondisi Mama dengan selang di sekujur tubuh.... tapi sebisa mungkin saya berusaha untuk tidak menangis di hadapan Mama, walaupun hati saya hancur, saya tidak boleh lemah, saya harus bisa memberikan kekuatan dan semangat untuk Mama.    

Saya pun langsung mencium Mama dan memanggil perlahan…  :  “Ma…bangun…  Kan sudah datang… bangun Ma…. Mama tidak boleh sakit, Mama harus sembuh… kami semua sayang Mama dan kami semua sangat membutuhkan Mama… Mama tolong bangun…. Ma….”   
Mama tidak bangun, tapi saya melihat air mata Mama menetes keluar dan badan Mama berguncang seperti sedang menangis terisak.   Saya sangat sedih……. Saya terus memanggil Mama perlahan dan mengajak Mama bercerita.  Walaupun Mama tidak menjawab tapi dari respon tubuh  yang diberikan saya yakin Mama mendengar dan tahu kalau saya ada.  Saya hanya bisa berdoa semoga Mama bisa sadar dan kembali sehat.
  
Malam itu saya terus duduk dan memegang tangan Mama… Saya bersama Kakak dan 2 orang keluarga menjaga Mama dan bergantian tidur, tidurpun tidak bisa tenang karena terus khawatir dengan kondisi Mama.

Minggu, 28 Juni 2015

Kondisi Mama masih sama... Saya pun masih duduk menemani Mama.   Kakak dan keluarga yang datang menyuruh saya untuk pulang istirahat di rumah, tapi saya masih ingin bersama Mama.  Saya pun belum berani menjenguk Emi dan bayinya, saya ingin sekali kesana tapi masih takut kalau dia curiga kenapa saya datang mendadak.   Waktu selesai operasi  melahirkan kemarin ada Suster yang terlanjur menyampaikan ke Emi kalau Mama sedang dirawat disini juga… Emi sangat kaget, untung suaminya ada di situ dan cepat-cepat bilang kalau Mama tidak apa-apa, sekarang sudah sehat .  Kalau saya kesana pagi ini pasti Emi makin curiga.  Akhirnya saya memutuskan untuk bersabar, tenangkan diri dulu, dan menunggu agak siang dulu baru kesana.  

Pagi itu dokter datang, selesai periksa dokter memanggil saya ke ruangannya dan menyampaikan beberapa hal, antara lain :   Mama didiagnosa terkena stroke hemoragik, stroke dengan pendarahan di otak.  Penanganannya harus dilakukan bedah untuk mengeluarkan gumpalan darah tsb,  tetapi operasi seperti  itu belum bisa dilakukan di rumah sakit ini.  Kalau mau dibedah maka Mama harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar  yang tersedia peralatan lengkap dan dokter ahli.  Dan untuk berangkat atau rujuk dengan kondisi  Mama seperti ini juga penuh resiko, mengingat usia dan kondisi Mama, gerakan sekecil apapun akan mengakibatkan pendarahan di otak semakin meluas.   Jika tetap di rumah sakit ini dokter hanya bisa berusaha dengan obat-obatan yang ada di sini.  

Kami pun diminta untuk memberikan keputusan, mau Mama dirujuk dengan segala resikonya ataukah  tetap dirawat disini dengan peralatan seadanya.

Pilihan yang sangat sulit, ibarat makan buah simalakama, pilihan apapun yang diambil akan mendatangkan resiko.  

Walaupun sulit tapi kami harus menentukan pilihan, akhirnya saya pun menandatangani surat pernyataan bahwa kami bersedia  Mama tetap dirawat di rumah sakit  Atambua dengan segala konsekuensinya menjadi tanggung jawab kami dan pernyataan bahwa keluarga yang menghendaki untuk diberikan obat-obatan paten (diluar tanggungan Askes), sesuai permintaan kami.   

Keluar dari ruangan dokter, saya menelpon adik bungsu saya di Jakarta dan saudara kembar saya di Kupang, saya sampaikan keadaan Mama dan minta mereka segera datang.  Adik bungsu baru bisa datang besok, tiket sudah dibeli, dia akan datang bersama kekasihnya.  Adik minta untuk  berbicara sebentar melalui telepon dengan Mama.  Saya pun masuk kembali ke ruangan ICU, meminta ijin kepada Mama dan menaruh telepon di telinga Mama.  Entah apa yang mereka bicarakan, saya tidak ikut mendengarnya tapi saya bisa kembali melihat reaksi Mama… air mata Mama kembali menetes…. Rasanya sedih sekali… 

****

Siang hingga sore hari  suhu tubuh Mama panas dan terus meningkat hingga 41°, handuk basah yang kami pakai untuk kompres cepat sekali  panas dan mengering.  Sementara itu sanak keluarga, Pater, Suster dan para sahabat berdatangan menjenguk dan berdoa untuk Mama.   Di hadapan Mama saya berusaha tegar, tetapi setiap kali mengantar keluar keluarga yang jenguk tangisan saya selalu pecah.  Belum lagi jika menerima telepon dari keluarga yang berada jauh, semua telepon selalu diawali dengan tangisan dan menanyakan Mama kenapa…kondisi Mama bagaimana…trus Emi sekarang bagaimana... Untung ada Om Anis yang selalu membantu menjawab telepon jika saya sudah tidak sanggup menjawab lagi. 

Menjelang malam teman/saudariku Prima Asa datang bersama suaminya.  Prima langsung tertegun dan diam melihat kondisi Mama.  Dengan hati-hati Prima sampaikan ke saya bahwa keadaan Mama saat ini sama seperti yang dialami Mamanya (Mama Gab) 6 bulan lalu.  Mama Gab juga didiagnosa stroke dan pendarahan otak, kondisi sama persis seperti Mama sekarang, panas tinggi dan dikompres di kepala, kaki dan tangan.  Prima sampaikan bahwa Mama Gab bertahan 4 hari, tensi darah menurun perlahan-lahan sampai dibawah 20 dan akhirnya meninggal.

Saya merasa terpukul, tapi saya tetap berterima kasih.  Informasi itu membuat saya harus bisa bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk seperti yang dialami Mama Gab.  Sebelumnya pun dokter sudah pernah menyampaikan kemungkinan ini, jadi saya harus kuat dan harus terus berdoa dan mendampingi Mama.

Malam itu saya terus mengamati monitor di kepala tempat tidur dengan perasaan cemas.  Ketika saya lihat tensi terus menurun sampai angka 35 saya mulai panik… saya langsung menelpon Kakak yang waktu itu masih pulang ke rumahnya.   Semakin malam suhu tubuh mulai berkurang, kami hanya mengompres di tangan dan kepala karena kaki Mama sudah mulai dingin.   Saya terus memegang tangan Mama dan berdoa Rosario tak putus-putusnya, kami terus berdoa, bernyanyi lagu-lagu rohani dan berdoa lagi.  

Waktu menunjukkan pukul 12.00, dan hari pun berganti, sudah masuk ke hari Senin 29 Juni 2015.  Saya masih terus menggenggam tangan Mama dan kami masih terus berdoa dan bernyanyi.  Yang ada di ruangan waktu itu  : saya, Kakak, Meli, Dora dan keponakan saya Rian Djando.   Kami terus berdoa sampai tiba-tiba saya merasa tangan Mama mulai dingin, tapi bagian kepala Mama masih panas.  Pertahanan saya mulai runtuh, saya sudah tidak bisa menahan tangis.. doa terus dipanjatkan  dengan keadaan sedih dan cemas.    

Saya merasa napas Mama semakin melemah, spontan saya lihat ke monitor, tensi sudah dibawah angka 30.. !  Saya langsung teriak Kakak untuk panggil dokter, perawat yang bertugas pun langsung datang.  Tidak lama kemudian dokter datang, kemudian perawat mendorong beberapa peralatan ke ruangan Mama.  Perawat mulai menempelkan peralatan itu ke beberapa bagian tubuh Mama.  Perawat dan dokter sibuk berupaya, Kakak meminta saya untuk berpindah tempat biar dokter bisa lebih leluasa,  tetapi saya tidak mau beranjak dari sisi Mama, saya terus menggenggam tangan Mama dan terus berdoa…    Saya pun memohon kepada dokter :  “Dokter… tolong jangan suruh saya pergi dari  sini… saya tahu kondisi Mama dan saya ingin terus bersama Mama di sini sampai saat terakhir Mama.”  Dokter memahami dan mengiyakan.    

Dokter dan perawat terus berupaya, sementara itu saya merasa dahi Mama mulai dingin sampai akhirnya tepat jam  01.45 dini hari dokter menyatakan bahwa  denyut napas Mama sudah tidak ada lagi, Mama tidak bisa ditolong lagi.   Saya hanya mengangguk lemah dan berkata : “Iya dokter, saya tahu… terima kasih untuk semua usahanya”.

Saat itu saya mengira saya kuat, saya mengganggap saya sudah siap.  Ternyata  saya salah, beberapa detik kemudian muncul perasaan kehilangan yang besar sekali, rasa hancur, rasa hampa , rasa sakit, rasa rindu … semuanya bercampur aduk  memenuhi dada…  Saya pun langsung memeluk Mama dan menumpahkan semua tangisan yang tertahan sejak tadi..  “Mamaaaaa….. minta maaf kami tidak bisa buat yang terbaik untuk Mama…. Minta ampun Mamaaaa…. Jalan baik-baik Mama…. Kami semua sayang Mama ….

**************************************


Hari ini… sudah 167 hari Mama pergi meninggalkan kami untuk selamanya…
Kalau Mama masih hidup, seharusnya kita bisa berkumpul bersama merayakan ulang tahun Mama yang ke-69… Tapi Tuhan menghendaki lain…Tuhan lebih menyayangi Mama dan telah memanggil Mama ke rumah-Nya yang abadi.

Selamat ulang tahun Mama tercinta…

Bahagia abadi di Surga…. AMIN.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar