Sabtu, 27 Juni 2015
Pagi itu saya masih tidur nyenyak, maklum hari Sabtu libur. Grace juga sedang berlibur di Atambua jadi kami lebih santai,
tidak ada yg perlu disiapkan pagi-pagi.
Sampai akhirnya hp berdering jam
06.17 WITA, telepon dari Mama..
“Nona…, masih tidur?
Emi sudah masuk rumah sakit jam 4 subuh,
nanti jam 8 pagi operasi melahirkan. Nona bangun dulu dan doa untuk Emi, kita berdoa sama-sama. Mama takut
karena akhir-akhir ini di Atambua banyak kejadian orang meninggal setelah operasi caesar…. “
Saya bisa menangkap nada khawatir dari suara Mama, tapi saya
berusaha membuat suasana santai dan bercanda.
Kami masih mengobrol sebentar, antara lain mengenai proses melahirkan yang
lebih cepat dimana sesuai perhitungan seharusnya awal bulan Juli, tentang kegembiraan Grace yang senang sekali mendapat adik sepupu baru pas dia lagi libur
di Atambua, dan juga tentang kesibukan persiapan di rumah.
Setelah menutup telepon saya bangun dan berdoa untuk
kelancaran operasi melahirkan adikku.
Setelah itu kami melanjutkan aktivitas seperti biasa, mandi dan siap-siap keluar mencari sarapan bubur
ayam, kebetulan hari itu suami saya kepingin makan bubur ayam dan mengajak kesana.
Baru saja mau keluar, sekitar jam 08.15 ada telepon dari
Grace :
“Ma…. Oma pingsan, sekarang sudah
dibawa ke rumah sakit…” kata Grace dengan nada suara panik.
Terkejut dan serasa disambar petir dengar
berita itu…. Kenapa Oma bisa pingsan???
Tadi Oma baru saja telepon mama, ada apa? Oma sakit apa??? Beragam
pertanyaan muncul, tapi Grace tidak mengerti.
Grace cuma bilang : “
tadi pas kaka Meli mau antar makan utk Oma, Oma
duduk di kursi tapi tidak sadar … dipanggil juga Oma tidak jawab… akhirnya Bapa
Tinus yang bantu pindahkan Oma ke tempat tidur, trus Bapa Tinus, Om Maxi dan
Bapanya Koko Io yang angkat Oma dan bawa ke rumah sakit.”
Dengan panik dan cemas saya kembali ke ruang doa, membakar
lilin dan berdoa dengan perasaan yang cemas.
Tuhan… tolong Mama… Saya mohon Ya
Tuhan… tolong sembuhkan Mama, jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi pada
Mama. Bunda Maria…tolong jaga Mama
saya…
Setelah berdoa dan berdevosi kepada Bunda Maria, hati terasa
lebih tenang. Saya menelpon Kakak untuk
menanyakan perkembangan Mama. “Mama belum sadar, sekarang masih di
UGD. Tensi Mama tinggi sekali sampai 209, menurut dokter
Mama terkena stroke. ” demikian penjelasan dari Kakak yang membuat
saya kembali shock.
Rupanya Mama sangat kepikiran dengan Emi yang akan menjalani operasi sehingga tensi darah naik begitu tinggi hingga
mengalami stroke dan pendarahan otak.
Saat
itu juga saya langsung memutuskan untuk
pulang ke Atambua.
Saya pun langsung memesan
tiket dan syukurlah masih ada tiket pesawat Transnusa untuk hari itu, setelah
ijin ke Pemimpin Cabang, sekitar jam 2 siang saya terbang ke Kupang, lanjut
perjalanan darat dengan Timor Travel ke Atambua (sudah siang tidak ada lagi penerbangan
ke Atambua). Sepanjang jalan saya terus panjatkan doa untuk
Mama, air mata tumpah tak henti-hentinya, takut
sekali kalau terjadi hal yang buruk pada Mama. Selama ini saya merasa Mama seperti malaikat
bagi kami, Mama terlalu baik dan selalu mendokan siapa saja, terlebih semua
anak dan cucunya. Setiap kali kalau saya
lupa berdoa dan semua aktivitas hari itu berjalan baik-baik saja saya tahu, itu
karena doa Mama yang selalu menyertai kami. Saya tidak ingin kehilangan Mama, hanya Mama
satu-satunya orang tua kami yang masih ada.
Saya masih membutuhkan Mama dan
masih ingin terus membahagiakan Mama.
Sepanjang perjalanan ke Atambua banyak telepon dari saudara dan keluarga di
Jkt, Sby, Bali, Sumba, Kupang, Atambua dan Ende, ada yang menanyakan keadaan Mama, ada juga
yang menghibur dan memberikan kekuatan untuk saya, setiap kali menerima telepon dari mereka tangisan
saya semakin tak tertahankan… Saya
juga terus menelpon mengecek keadaan
Mama, berharap Mama sudah sadar, tapi jawabannya masih sama… Mama belum sadar.
****
Pada hari yang sama sekitar jam 11.00 Mama sudah dibawa ke
ruang ICU. Pada hari dan jam yang sama
juga adikku Emi dibawa ke ruang operasi, dan melahirkan bayi laki-laki yang
ditunggu-tunggu oleh kami sekeluarga. Anaknya Emi yang sebelumnya sudah ada 2
orang perempuan, Ceryl dan Dhea. Kehadiran bayi laki-laki ini membuat lengkap
dan sangat menggembirakan semua keluarga besar, sayang Oma tidak ikut merasakan kegembiraan ini karena
masih belum sadar. Suasana hati kami bercampur
aduk….seharusnya hari ini Oma bisa menggendong cucunya yang ditunggu-tunggu...
Kami sekeluarga sepakat untuk tidak memberitahukan keadaan
Mama kepada Emi karena khawatir akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kondisinya belum stabil baru
selesai operasi melahirkan. Setiap ada
kerabat atau teman yang berkunjung selalu kami ingatkan untuk tidak
menceritakan keadaan Mama kepada Emi.
Ruang ICU dan ruangan perawatan Emi cukup dekat, jadi keluarga yang
mengunjungi Mama langsung menuju ke tempat Emi juga, demikian juga sebaliknya.
****
Perjalanan panjang dari Kupang ke Atambua terasa sangat
lama…
Sampai akhirnya jam 23.00 tiba di Atambua. Saya tidak sabar, ingin langsung turun di RSU
tapi Kakak bilang turun di rumah saja dulu, nanti baru dijemput ke rumah sakit. Sampai di rumah saya langsung ke kamar
Mama…tangis saya semakin pecah melihat foto Mama dan Bapa di kamar, saya benar-benar takut dan tidak ingin terjadi sesuatu pada Mama. Setelah cuci muka sebentar, saya ambil jaket
woll sering Mama pakai, ada di gantungan pakaian, cuaca di Atambua sangat
dingin. Saya pakai jaket itu dan
keluar, Kakak sudah datang menjemput. Hati saya berdebar-debar… senang sudah tiba jadi
bisa menjaga dan merawat Mama, tapi di sisi lain saya takut… saya takut kalau
saya tidak sanggup melihat keadaan Mama.
Saya terus berusaha agar hati bisa kuat dan tegar.
Setelah memarkir mobil kami berjalan menyusuri lorong rumah
sakit, menuju ke ruang ICU tempat mama dirawat.
Begitu masuk ruangan, hati saya merasa hancur melihat kondisi Mama
dengan selang di sekujur tubuh.... tapi sebisa mungkin saya berusaha untuk
tidak menangis di hadapan Mama, walaupun hati saya hancur, saya tidak boleh
lemah, saya harus bisa memberikan kekuatan dan semangat untuk Mama.
Saya pun langsung mencium Mama dan memanggil
perlahan… : “Ma…bangun…
Kan sudah datang… bangun Ma…. Mama tidak
boleh sakit, Mama harus sembuh… kami semua sayang Mama dan kami semua sangat
membutuhkan Mama… Mama tolong bangun…. Ma….”
Mama tidak bangun, tapi saya melihat air mata
Mama menetes keluar dan badan Mama berguncang seperti sedang menangis terisak. Saya sangat sedih……. Saya terus memanggil
Mama perlahan dan mengajak Mama bercerita.
Walaupun Mama tidak menjawab tapi dari respon tubuh yang diberikan saya yakin Mama mendengar dan
tahu kalau saya ada. Saya hanya bisa berdoa semoga Mama bisa
sadar dan kembali sehat.
Malam itu saya terus
duduk dan memegang tangan Mama… Saya bersama Kakak dan 2 orang keluarga menjaga
Mama dan bergantian tidur, tidurpun tidak bisa tenang karena terus khawatir
dengan kondisi Mama.
Minggu, 28 Juni 2015
Kondisi Mama masih sama... Saya pun masih duduk menemani
Mama. Kakak dan keluarga yang datang
menyuruh saya untuk pulang istirahat di rumah, tapi saya masih ingin bersama
Mama. Saya pun belum berani menjenguk
Emi dan bayinya, saya ingin sekali kesana tapi masih takut kalau dia curiga kenapa
saya datang mendadak. Waktu selesai
operasi melahirkan kemarin ada Suster yang
terlanjur menyampaikan ke Emi kalau Mama sedang dirawat disini juga… Emi sangat kaget,
untung suaminya ada di situ dan cepat-cepat bilang kalau Mama tidak apa-apa, sekarang
sudah sehat . Kalau saya kesana pagi ini pasti Emi makin
curiga. Akhirnya saya memutuskan untuk
bersabar, tenangkan diri dulu, dan menunggu agak siang dulu baru kesana.
Pagi itu dokter datang, selesai periksa dokter memanggil saya
ke ruangannya dan menyampaikan beberapa hal, antara lain : Mama didiagnosa
terkena stroke hemoragik, stroke
dengan pendarahan di otak. Penanganannya harus dilakukan bedah untuk mengeluarkan gumpalan darah tsb,
tetapi operasi seperti itu belum bisa dilakukan di rumah sakit ini. Kalau mau dibedah maka Mama harus dirujuk ke
rumah sakit yang lebih besar yang
tersedia peralatan lengkap dan dokter ahli. Dan untuk berangkat atau rujuk dengan kondisi Mama seperti ini juga penuh resiko, mengingat
usia dan kondisi Mama, gerakan sekecil apapun akan mengakibatkan pendarahan
di otak semakin meluas. Jika tetap di
rumah sakit ini dokter hanya bisa berusaha dengan obat-obatan yang ada di sini.
Kami pun diminta untuk memberikan keputusan, mau Mama
dirujuk dengan segala resikonya ataukah tetap dirawat disini dengan peralatan
seadanya.
Pilihan yang sangat sulit, ibarat makan buah simalakama,
pilihan apapun yang diambil akan mendatangkan resiko.
Walaupun sulit tapi kami harus menentukan pilihan, akhirnya
saya pun menandatangani surat pernyataan bahwa kami bersedia Mama tetap dirawat di rumah sakit Atambua dengan segala konsekuensinya menjadi tanggung jawab kami dan pernyataan bahwa keluarga yang
menghendaki untuk diberikan obat-obatan paten (diluar tanggungan Askes), sesuai
permintaan kami.
Keluar dari ruangan dokter, saya menelpon adik bungsu saya di Jakarta dan saudara
kembar saya di Kupang, saya sampaikan keadaan Mama dan minta mereka segera
datang. Adik bungsu baru bisa datang
besok, tiket sudah dibeli, dia akan datang bersama kekasihnya. Adik minta untuk berbicara sebentar melalui telepon dengan
Mama. Saya pun masuk kembali ke ruangan ICU, meminta ijin kepada Mama
dan menaruh telepon di telinga Mama.
Entah apa yang mereka bicarakan, saya tidak ikut mendengarnya tapi saya
bisa kembali melihat reaksi Mama… air mata Mama kembali menetes…. Rasanya sedih
sekali…
****
Siang hingga sore hari suhu tubuh Mama panas dan terus meningkat
hingga 41°,
handuk basah yang kami pakai untuk kompres cepat sekali panas dan mengering. Sementara itu sanak keluarga, Pater, Suster
dan para sahabat berdatangan menjenguk dan berdoa untuk Mama. Di hadapan Mama saya berusaha tegar, tetapi
setiap kali mengantar keluar keluarga yang jenguk tangisan saya selalu
pecah. Belum lagi jika menerima telepon
dari keluarga yang berada jauh, semua telepon selalu diawali dengan tangisan
dan menanyakan Mama kenapa…kondisi Mama bagaimana…trus Emi sekarang bagaimana... Untung ada Om Anis yang selalu membantu menjawab telepon jika saya sudah tidak sanggup menjawab lagi.
Menjelang malam teman/saudariku Prima Asa datang bersama
suaminya. Prima langsung tertegun dan
diam melihat kondisi Mama. Dengan
hati-hati Prima sampaikan ke saya bahwa keadaan Mama saat ini sama seperti yang
dialami Mamanya (Mama Gab) 6 bulan lalu.
Mama Gab juga didiagnosa stroke
dan pendarahan otak, kondisi sama persis seperti Mama sekarang, panas tinggi
dan dikompres di kepala, kaki dan tangan.
Prima sampaikan bahwa Mama Gab bertahan 4 hari, tensi darah menurun
perlahan-lahan sampai dibawah 20 dan akhirnya meninggal.
Saya merasa terpukul, tapi saya tetap berterima kasih. Informasi itu membuat saya harus bisa
bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk seperti yang dialami Mama
Gab. Sebelumnya pun dokter sudah pernah
menyampaikan kemungkinan ini, jadi saya harus kuat dan harus terus berdoa dan mendampingi
Mama.
Malam itu saya terus mengamati monitor di kepala tempat tidur dengan
perasaan cemas. Ketika saya lihat tensi
terus menurun sampai angka 35 saya mulai panik… saya langsung menelpon Kakak
yang waktu itu masih pulang ke rumahnya. Semakin malam suhu tubuh mulai berkurang,
kami hanya mengompres di tangan dan kepala karena kaki Mama sudah mulai dingin.
Saya terus memegang tangan Mama dan berdoa
Rosario tak putus-putusnya, kami terus berdoa, bernyanyi lagu-lagu rohani dan
berdoa lagi.
Waktu menunjukkan pukul 12.00, dan hari pun berganti, sudah masuk ke
hari Senin 29 Juni 2015. Saya masih terus menggenggam tangan Mama dan kami
masih terus berdoa dan bernyanyi. Yang ada
di ruangan waktu itu : saya, Kakak, Meli, Dora dan keponakan saya Rian Djando. Kami terus berdoa sampai tiba-tiba saya merasa
tangan Mama mulai dingin, tapi bagian kepala Mama masih panas. Pertahanan saya mulai runtuh, saya sudah tidak
bisa menahan tangis.. doa terus dipanjatkan
dengan keadaan sedih dan cemas.
Saya merasa napas Mama semakin melemah, spontan saya lihat ke
monitor, tensi sudah dibawah angka 30.. !
Saya langsung teriak Kakak untuk panggil dokter, perawat yang bertugas pun
langsung datang. Tidak lama kemudian
dokter datang, kemudian perawat mendorong beberapa peralatan ke ruangan Mama. Perawat mulai menempelkan peralatan itu
ke beberapa bagian tubuh Mama. Perawat
dan dokter sibuk berupaya, Kakak meminta saya untuk berpindah tempat biar
dokter bisa lebih leluasa, tetapi saya
tidak mau beranjak dari sisi Mama, saya terus menggenggam tangan Mama dan terus
berdoa… Saya pun memohon kepada dokter : “Dokter…
tolong jangan suruh saya pergi dari sini…
saya tahu kondisi Mama dan saya ingin terus bersama Mama di sini sampai saat
terakhir Mama.” Dokter memahami dan
mengiyakan.
Dokter dan perawat terus berupaya, sementara
itu saya merasa dahi Mama mulai dingin sampai akhirnya tepat jam 01.45 dini hari dokter menyatakan bahwa denyut
napas Mama sudah tidak ada lagi, Mama tidak bisa ditolong lagi. Saya hanya mengangguk lemah dan berkata : “Iya dokter, saya tahu… terima kasih untuk
semua usahanya”.
Saat itu saya mengira saya kuat, saya mengganggap saya sudah
siap. Ternyata saya salah, beberapa detik kemudian muncul perasaan
kehilangan yang besar sekali, rasa hancur, rasa hampa , rasa sakit, rasa rindu …
semuanya bercampur aduk memenuhi dada… Saya pun langsung memeluk Mama dan menumpahkan
semua tangisan yang tertahan sejak tadi.. “Mamaaaaa….. minta maaf kami tidak bisa buat yang terbaik untuk Mama….
Minta ampun Mamaaaa…. Jalan baik-baik Mama…. Kami semua sayang Mama ….
**************************************
Hari ini… sudah
167 hari Mama pergi meninggalkan kami untuk selamanya…
Kalau Mama
masih hidup, seharusnya kita bisa berkumpul bersama merayakan ulang tahun Mama
yang ke-69… Tapi Tuhan menghendaki lain…Tuhan lebih menyayangi Mama dan telah memanggil
Mama ke rumah-Nya yang abadi.
Selamat
ulang tahun Mama tercinta…
Bahagia
abadi di Surga…. AMIN.